Surabaya - KABARPROGRESIF.COM Sebanyak 3.228 kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Surabaya telah terdeteksi dini dari target estimasi 16.127 kasus.
Angka tersebut merupakan capaian 20 persen dari target bulanan, per 30 April 2024.
"Kami berkomitmen untuk mengurangi prevalensi TBC di Surabaya, dengan beberapa strategi seperti skrining pasif dan aktif. Target prioritas kami adalah kelompok-kelompok berisiko tinggi," kata Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Surabaya, Nanik Sukristina, Rabu (15/5).
Nanik mengatakan, skrining pasif difokuskan pada kelompok-kelompok seperti pasien HIV, diabetes, anak-anak dengan gizi buruk, pasien ISPA/Pneumonia, pasien Covid-19, dan Calon Jemaah Haji.
"Untuk skrining aktif pencegahan Tuberkulosis, nantinya akan melibatkan lintas sektor untuk memeriksa masyarakat secara luas dan meningkatkan kesempatan deteksi dini yang lebih besar," ujarnya.
Saat ditanya terkait penderita TBC yang masih malu untuk membuka diri, Dinas Kesehatan telah mengimplementasikan strategi komprehensif.
"Kami berupaya mengurangi stigma negatif melalui pendekatan promosi kesehatan, termasuk penyuluhan dan diseminasi informasi melalui tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media sosial," paparnya.
Langkah ini, lanjutnya, juga melibatkan satgas TBC di kecamatan dan influencer untuk meningkatkan kesadaran dan mengurangi ketakutan serta kesalahpahaman tentang TBC.
Menurutnya, edukasi berkelanjutan sangat dibutuhkan dalam memaksimalkan pencegahan Tuberkulosis.
"Program edukasi kami tidak hanya sebatas penyuluhan. Kami bekerjasama dengan puskesmas, kader kesehatan, dan organisasi non-pemerintah untuk menyebarkan pengetahuan tentang pencegahan dan pengobatan TBC," paparnya.
Edukasi juga ditujukan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mendeteksi dan melapor tentang kasus TBC, yang krusial untuk pencegahan penyebaran lebih lanjut di Kota Surabaya.
Sementara itu terkait penanganan TBC Resisten Obat (RO), ia menjabarkan bahwa pengobatan TBC RO memerlukan pendekatan yang berbeda.
"Jadi perawatan khusus bagi RO itu ada penggunaan jenis obat yang spesifik dan durasi pengobatan yang lebih panjang," tutur Nanik.
Selain itu, protokol pengobatan bagi penderita TBC RO mencakup penggunaan regimen BPAL/M selama 6 bulan, STR selama 9 bulan, dan LTR selama 18-24 bulan.
Karena itulah, Nanik Sukristina juga menegaskan pentingnya pendampingan oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) dan Peer Educator (mantan pasien TBC RO yang diberdayakan kembali untuk mendukung dan mencegah terjadinya mangkir atau putus obat).
"Dan juga, harus dilakukan Investigasi Kontak, pemberian TPT kontak serumah pasien, dan pemberian PMT berupa susu," pungkasnya.